Senin, 16 April 2012


Pemikiran Kalam Aasy’ariyah
A. PENGERTIAN DAN PENISBATANNYA
       Asy’ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abdul-Hasan Ali bin Al-Asyari[1]. Nama asyariyah diambil dari nama Abdul-Hasan Ali bin Al-Asyari. Beliau dilahirkan di kota Bashrah (Irak) pada tahun 206 Hijriyah bertepatan dengan tahun 873 Masehi, dan wafat di Bashrah pada tahun 324 Hijriyah/ 935 Masehi[2].      
       Menurut Ibn Asakir,ayah kandung Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan Hadis.Ia wafat ketika Asy’ari masih kecil.Setelah wafat ayah kandungnya,ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu-Jubba’i(w.303H/915M),ayah kandung Hasyim Al-Jbba’i(w.321H/932M).[3]
      Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun.Ia sering mengantikan Al-Jubba’I dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazillah,dan pada masa yang sama beliau banyak menulis buku yang menbela alirannya.[4]Setelah itu dengan tib-tiba ia mengumunkan di hadapan jamaah masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan fahaman Mu’tazillah.

B. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN ASY’ARIYYAH.
            Aliran asy’ariyah dibentuk oleh Abdul-Hasan Ali bin Al-Asyari. Sejak kecil ia berguru pada Syekh Al-Jubba’i seorang Mu’tazilah yang sangat  terkenal.  Abdul-Hasan Ali bin Al-Asyari adalah serang murid yang cerdas dan menjadi murid kebanggaan gurunya. Dengan ilmu kemu’tazilahnya, ia gencar menyebar luaskan paham Mu’tazilah dengan karya-karya tulisannya. Dalam beberapa waktu lama ia merenungkan dan mempertimbangkan ajaran-ajaran Mu’tazilah dengan paham ahli-ahli Fiqih dan Hadist[5]. Pada waktu itu beliau merenungkan semua itu di dalam rumahnya selama 15 hari. Dan dia pergi ke masjid Basrah lalu dia berbicara di depan orang banyak dan mengemukakan kalau dia telah keluar dari paham mu’tazilah, Walaupun ia sudah menganut paham Mu’tazilah selama 40 tahun. Maka ia membentuk aliran yang dikenal dengan namanya sendiri yaitu Asy’Ariyyah pada tahun 300 Hijriyah.
            Sebab utama Al-Asyari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah adanya perpecahan yang dialami oleh kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka kalu tidak segera diakhiri[6]. Karena kaum muslim banyak yang tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang berpendapat  tentang persoalan Al-Qur’an. Apakah Al-Qur’an itu kadim atau makhluk, yang bagi Mu’tazilah bahwa Al-Qu’an itu adalah makhluk, bukanlah kadim karena kadim itu hanyalah Tuhan. Jika ada yang mengatakan Al-Qur’an itu kadim berarti orang telah berbuat syirik, dan dosa syirik itu tidak dapat diampuni oleh Tuhan, maka akan kekal dalam neraka.
       Pada saat itu Mu’tazilah mengalami kemunduran dan lemah. Kekerasan dalam mengembangkan paham Mu’tazilah membuat orang muslim menghindar dari doktrin yang dibawanya. Keadaan ini telah disadari oleh Al-Mutawakkil. Oleh sebab itu Mu’tazilah dibatalkan sebagai mazhab resmi Negara.  Dalam suasana ini Abu Al-Hasan Al-Asya’ri keluar dari aliran Mu’tazilah dan merumuskan suatu aliran teologi islam baru yang kemudian dinamai dengan namanya sendiri[7].Hal ini kerana pada saat itu tidak ada lagi aliran teologi Islam lain yang teratur sebagai ganti peganggan umat[8].

DOKTRIN DAN PEMIKIRAN POKOKNYA

DOKTRIN-DOKTRIN
       Formulasi pemikiran Al-Asy’ari secara esensial,,penampilan sebuah upaya sintesis antara formula ortodoks ekstrim di suatu sisi dan Mu’tazillah di sisi lain.Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat reaksionis terhadap Mu’tazillah,sebuah reaksi yang tidak dapat dihindari[9].
       Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang penting adalah berikut;
1.      Tuhan dan sifat-sifatnya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat di hindari walaupun mereka setuju bahawa mengesakan Allah adalah wajib.
-Kelompok Musyabihah yang berpendapat bahawa Allah menpunyai semua sifat yang disebut dalam al-Qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus difahami menurut arti harfiah.
-Kelompok Mu’tazillah yang berpendapat bahawa sifat-sifat Allah tidak lain selain essensi-Nya. Adapun tangan,kaki, telinga Allah, atau arasy atau kursi yang tidak boleh diartikansecaara harfiah,melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
-Asy’ari berpendapat bahawa Allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, dan tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan secara simbolis(berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahawa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
2.      Kebebasan dalam berkehendak
       Manusia memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya
- Jabariah yang fatalistic dan menganut faham peradeterminisme semata-mata.
- Mu’tazillah yang menganut fahaman kebebasan mutlak dan berpendapat bahawa manusia mencipta perbuatannya sendiri[10].
- Asy’ari berbeda antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta(khaliq) perbuatan manusia sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya(muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu(termasuk keinginan manusia).

3.      Akal dan wahyu krikteria baik dan buruk.
Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang mu’tazilah mengakui pentingnya akal wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu,
- Mu’tazilah mengutamakan akal sebagai dasarnya untuk memahami atau penjelasan tentang agama.
- Al-Asy’ari mengutamakan wahyu sebagai dasar untuk memahami atau penjelasan tentang agama.[11]

4.      Qadimnya al-Quran
    Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadim al-Quran
- Mu’tazillah mengatakan bahawa al-Qur’an diciptakan(makhluk) sehingga tidak qadim serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang menyatakan bahawa al-Quran kalam Allah.
- Zahiriah berpendapat bahawa semua huruf,kata,dan bunyi al-Quran adalah qadim.[12]
- Asy’ariah menyatakan bahawa walaupun al-Quran terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi semua itu tidak melekat pada efisiensi Allah dan kerananya tidak qadim.[13]

5.      Melihat Allah
     Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim.
-Zahiriah yang menyatakan bahawa Allah dapat dilihat diakhirat dan mempercayai bahawa Allah bersemayam di arasy.
- Mu’tazillah yang mengingkari ru’yatullah(melihat Allah) di akhirat.[14]
- Asy’ariah yakin bahawa Allah dapat dilihat di akhirat[15] tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihatnya.[16]

6.      Keadilan
       Pada dasarnya Al-Asy’ari dan mu’tazillah setuju bahawa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazillah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga dia harus menyeksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun kerana dia adalah penguasa mutlak.
- Mu’tazillah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya.
-Asy’ari mengartikan dari visi manusia bahawa Allah adalah pemilik mutlak.

7.      Kedudukan  Orang Berdosa
     Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anuti Mu’tazillah.[17]
-Mu’tazillah menyatakan bahawa iman merupakan lawan kufur,predikatnya bagi seseorang haruslah salah satu di antaranya.Jika tidak mukmin,ia kafir.
-Al-Asy’ari berpendapat bahawa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik,sebab iman tidak mungkin hilang kerana dosa selain kafir[18].


PEMIKIRAN POKOKNYA
     Al-Asy’ari memiliki corak pemikiran berbeda dengan Mu’tazillah,akan tetapi dia saling melengkapi antara fahaman sunni.Ada dua corak yang kelihatan berlawan pada diri Al-Asy’ari ,akan tetapi saling melengkapi.
       Pertama;Ia berusaha mendekati orang-orang aliran fiqih Sunni,sehingga ada yang mengatakan bahawa ia bermazhab Syafi’I dan ada juga yang mengatakan ia bermazhab Maliki dan mazhab Hambali.
       Kedua;Adanya keinginan menjauhi aliran fiqh. Kedua hal tersebut adalah kerana akibat pendekatan diri kepada aliran-aliran fiqh sunni dan keyakinan adanya kesatuan aliran-aliran tersebut dalam soal-soal kecil. Kerana itu menurut pendapat Asy’ari semua orang yang berjihad adalah benar.
     Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal fikiran dalam soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah di singgung-singgung oleh rasulullah adalah salah. Sahabat-sahabat nabi sudah wafatnya rasul banyak membicarakan soal-soal baru. Ia menentang orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam dan orgumentasi fikiran, keberatan yang mana tidak ada dasarnya al-Quran dan hadis.
     Dalam pada itu ia juga mengingkari orang-orang yang berlebih-lebihan menghargai akal fikiran, iaitu golongan mu’tazilah. Kerana golongan ini tidak mengakui sifat-sifat, maka dikatakan telah sesat sebab mereka telah menjauhkan tuhan dari sifat-sifatnya dan meletakkannya dalam bentuk yang tidak dapat diterima akal. mereka juga mengingkari kemungkinan terlihatnya tuhan dengan mata kepala. Apabila pendapat ini dibenarkan, maka akan berakibat tidak mengaku hadis-hadis nabi salah satu tiang agama.

PERKEMBANGAN, TOKOH DAN SEKTE(FIRQAH) NYA

PERKEMBANGAN
       Pendirian Asy’ari tersebut di atas merupakan tali penghubung antara dua aliran alam fikiran Islam yaitu aliran lama(textralist)dan aliran baru(rasionalist).Akan tetapi, sesudah wafatnya aliran Asy’ariyah mengalami perubahan yang cepat.Kalau pada permulaan berdirinya kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut,maka pada akhirnya aliran Asy’ariyah terlebih condong kepada segi akal fikiran semata-mata.Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan,bahawa”akal menjadi dasar nakal(nas)”kerana dengan akallah kita menetapkan adanya tuhan pencipta alam dan yang maha kuasa.Pembatallan akal fikiran dengan nakal berarti pembatallan dasar(pokok)dengan cabangnya,yang berakibat pula pembatallan pokok dan cabangnya sama sekali.
     Kerana sikap tersebut,maka ahli sunnah tidak dapat menerima golongan Asy’ariyah,bahkan memusuhinya sebab dianggap sesat(bid’ah).Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang sehingga datang Nizamul- mulk,seorang menteri Saljuk yang mendirikan dua sekolah yaitu Nizamiyah di Nizabur dan Baghdad,dimana hanya aliran Asy’ariyah saja yang boleh diajarkan.Sejak itu aliran Asy’ariyah menjadi aliran rasmi Negara,dan golongan Asy’ariyah menjadi golongan ahli sunnah.

TOKOH
Al-Baqilany ( wafat 403 H / 1013 M )
Namanya Abu Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan / persiapan).
Al-Juwaini ( 419-478 H/ 1028-1085 M )
Namanya Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai ke negara Bagdad. Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan Al-Asy’ary dalam menjujung setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang menjadikan marahnya para ahli-ahli hadist. Akhirnya ia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk mengajarkan pelajaran disana. Karena itu ia mendapat gelar “Imam Al-Haramain” ( Imam kedua tanah suci, Makkah dan Madinah ) setelah Nizamul-Mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah Nizamiyah di Nisabur al-Juwaini diminta kembali ke negerinya tersebut untuk memberikan pelajaran disana.
Al-Ghazali ( 450-505 H )
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan yang pernah dipegangnya adalah mengajar di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adalah salah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang pernah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi Ulama-ulama Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan “Hujjatul Islam”.
As-Sanusy ( 833-895 H / 1427-14990 )
Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan pelajaranya di kota Al-Jazair pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman ats-Tsa’laby.
Ulama Maghrib menganggap ia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (ilmu Tauhid).      

SEKTE(FIRQAH)
     Pada awalnya sekter Asy’ariyah ini stabilitas antara Mu’tazillah dan Jabarriyah,dan Qadariyah sehingga ia menjadi aliran yang mudah diterima oleh masyarakat pada masa ketika itu.Pada masa itu,Asy’ari menekankan keseimbangan antara akal dan nash Al-Quran dan hadist sebagai dasar pemahamannya.
      Setelah kewafatannya,maka timbullah sekte yang kedua,yaitu sekte yang lebih cenderung kepada pengunaan akal sebagai nas untuk menjelas pemasalahan.Sekte ini di teruskan oleh seorang menteri yaitu Nizamul-mulk di Nizamiyah di Nizabur dan Baghdad.


[1] http://munzaro.blogspot.com/2011/02/pemikiran-asy-ariyah.html
[2] Ahmad hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta, Bulan Bintang Jakarta, 1996) hlm 58
[3] Imarah,loc.cit.
[4] Hammudah Gurabah ,Abu Al-Hasan Al-Asy’ari,Al-Hai at Al-Hait at Al-Ammah li Syu’un Al-Mathabi Al-Amiriah ,Kairo,1973,hlm.60-61.
[5] http://delsajoesafira.blogspot.com/2010/04/aliran-asyariyah.html
[6] (Ahmad hanafi, theology islam (ilmu kalam), hal 59)
[7] Afrizal M, Ibn Rusyd 7 Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam,(Jakarta, Erlangga, 2006) hlm 32-34

[8] Ibid,h.63.
[9] Ahmad  Amin ,Dhuha Al-Islam ,Dar Al-Misriyah,Kairo,1946,hlm.92
[10] Ibid.hlm 68
[11] Qadir.op.cip.hlm.70
[12] Ibid.hlm.70
[13] Ibid.hlm.70(nasution,1972:69)
[14] Abu malik Al-Juwaimi,Lumar Al-Adillah,Ad-Dar-Almishriyyah,mesir,1965 hlm 101
[15] Al-Asy’ari,op.cit.hlm 9:nasution,op.sit,hlm 69.
[16] Abdul hyi,ash’arism a histori of muslim philosophy,Ed.M.M.Syarif.Otto Hars Sowitz,Wiedaden,1963,hlm 234-235.
[17] Nasution,op.cit.hlm.71.
[18][18] Abd Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad,Al-Faraq,bain Al-Firaq,Mesir ,t.t,hlm 351.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar