SEJARAH SEBAGAI BAGIAN DARI ILMU SOSIAL
A. PENGERTIAN SEJARAH
Menurut Jan Romein, kata sejarah memiliki arti yang sama
dengan kata history (Inggris), geschichte (Jerman) dan geschiedenis (Belanda), yang mengandung arti yang
sama, yaitu cerita tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa
lampau. Sementara menurut sejarawan William H. Frederick, kata sejarah diserap
dari bahasa Arab, syajaratun yang
berarti pohon atau keturunan atau asal-usul yang kemudian berkembangkan dalam
bahasa Melayu syajarah. Dalam bahasa Indonesia menjadi sejarah. Menurutnya kata
syajarah atau sejarah dimaksudkan
sebagai gambaran silsilah atau keturunan.
Dari berbagai pendapat yang ada dalam arti yang luas, sejarah dapat diartikan
sebagai gambaran tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang
dialami manusia dan disusun secara ilmiah meliputi urutan waktu tertentu dan diberi tafsiran serta analisa kritis
sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
Berbicara tentang sejarah, biasanya akan segera dihubungkan dengan cerita,
yaitu cerita tentang pengalaman-pengalaman manusia di waktu yang lampau.
Bahwasanya sejarah pada hakekatnya adalah sebuah cerita yang tidak bisa disangkal
lagi. Ucapan teoritikus-teoritikus sejarah seperti Renier: “nothing but a story”; Trevelyan: “the historian’s first duty is to tell the
story”; Huizinga: “the story of
something that has happened”, semuanya mencerminkan gagasan bahwa sejarah
itu hakekatnya adalah tidak lain sebagai suatu bentuk cerita.
Kendati demikian, hal yang perlu sekali disadari adalah kenyataan bahwa sebagai cerita,
sejarah bukanlah sembarang cerita. Cerita sejarah tidaklah sama dengan dongeng
ataupun novel. Ia adalah cerita yang didasarkan pada fakta-fakta dan disusun
dengan metode yang khusus yang bermula dari pencarian dan penemuan jejak-jejak
sejarah, mengujji jejak-jejak tersebut dengan metode kritik yang ketat (kritik
sejarah) dan diteruskan dengan interpretasi fakta-fakta untuk akhirnya disusun
dengan cara-cara tertentu pula menjadi sebuah cerita yang menarik tentang pengalaman
masa lampau manusia.
B. PENGERTIAN ILMU SOSIAL
Ilmu Sosial (dalam bahasa Inggris disebut social science) atau ilmu pengetahuan sosial merupakan sekelompok disiplin akademis
yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan
sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena menekankan
penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metode kuantitatif dan
kualitatif.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat
secara subjektif, inter-subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya
dianggap kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah banyak
menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan
lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor
sosial dan lingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu
alam tertarik pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan
metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi
tentang tindakan manusia serta implikasi dan konsekuensinya.
C. SEJARAH SEBAGAI BAGIAN DARI ILMU SOSIAL
Pengetahuan manusia (human knowledge) umumnya dapat diklasifikasi atas tiga kelompok besar yaitu: pertama,
ilmu-ilmu alamiah (natural
sciences); kedua ilmu-ilmu sosial (social
sciences); dan ketiga ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities) (Gee, 1950: 1) atau dikenal juga dengan sebutan humaniora (Kartodirdjo, 1992: 126-128). Bahkan Waldo G. Leland yang dikutip oleh
Wilson Gee mengumpamakan semua ilmu pengetahuan itu sebagai sebuah segi tiga.
Pada sudut pertama terdapat ilmu-ilmu alamiah yang mengkaji lingkungan hidup
manusia. Di sudut kedua terdapat ilmu-ilmu sosial yang mempelajari manusia dalam
hubungnnya dengan manusia-manusia lain. Kemudian di sudut ketiga terdapat
ilmu-ilmu kemanusiaan yang mempelajari manifestasi-manifestasi kehadiran
(eksistensi) kejiwaan (spiritual) manusia (Gee, 1950: 23).
Sejarah sebagai ilmu
menurut Koentowijoyo bersifat empiris, didasarkan pada pengalaman dan
pengamatan. Dari pengalaman tersebut kemudian diserap dan direkam dalam suatu
dokumen yang akan dipakai sebagai sumber data; memiliki objek, yaitu manusia,
dilihat dari sudut pandang waktu; memiliki
teori (kausalitas,challenge dan response), mempunyai generalisasi: kebenarannya diakui umum; memiliki metode atau langkah-langkah
penulisan sejarah, yaitu: heuristik, verifikasi, historiografi, dan interpretasi. Jadi, sejarah sebagai ilmu adalah
pengetahuan yang mempelajari masa lampau, yang disusun secara kronologis dan sistematis yang
benar-benar terjadi.
Karena sejarah memiliki semua syarat keilmuan tersebut,
termasuk memiliki metode sendiri dalam memecahkan masalah, maka tidak ragu lagi
akan unsur-unsur keilmuan dari sejarah. Pendapat ahli sejarah Bury bahwa “history is a science, no less and no more”
kiranya memberikan penegasan akan hal itu. Meski demikian dalam kenyataannya
banyak pihak yang masih menyangsikan keberadaan sejarah sebagai sebuah disiplin
ilmu.
Dilihat dari cara kerja ilmiah, dua tahapan terakhir dalam metode sejarah yaitu interpretasi dan historiografi masih sering dianggap sebagai titik-titik lemah. Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya terdapat unsur menyeleksi fakta sehingga sesuai dengan keseluruhan yang hendak disusun, terkadang unsur subjektivitas penulis atau sejarawan seperti kecenderungan pribadinya (personal bias), prasangka kelompoknya (group prejudice), teori-teori interpretasi historis yang saling bertentangan (conflicting theories of historical interpretation) dan pandangan hidupnya sangat mempengaruhi terhadap proses interpretasi tersebut.
Semuanya itu bisa membawa sejarawan pada sikap subjektif yang dalam bentuknya yang ekstrim menjurus pada sikap emosional, bahkan mungkin irasional yang kurang bisa dipertanggung jawabkan seperti kecenderungan mengorbankan fakta sejarah atau memanipulasikannya demi suatu teori, pandangan hidup yang dipercayai secara berlebihan atau keberpihakan pada penguasa. Memang sulit untuk menghindar dari subjektivitas, sehingga sejarawan sangat dituntut untuk melakukan penelitian sejarah yang seobjektif mungkin atau setidaknya sebagai suatu ideal. Pokok yang penting bagi sejarawan adalah seperti yang pernah dikemukakan G. J. Renier, “we must not cheat”.
Dilihat dari cara kerja ilmiah, dua tahapan terakhir dalam metode sejarah yaitu interpretasi dan historiografi masih sering dianggap sebagai titik-titik lemah. Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya terdapat unsur menyeleksi fakta sehingga sesuai dengan keseluruhan yang hendak disusun, terkadang unsur subjektivitas penulis atau sejarawan seperti kecenderungan pribadinya (personal bias), prasangka kelompoknya (group prejudice), teori-teori interpretasi historis yang saling bertentangan (conflicting theories of historical interpretation) dan pandangan hidupnya sangat mempengaruhi terhadap proses interpretasi tersebut.
Semuanya itu bisa membawa sejarawan pada sikap subjektif yang dalam bentuknya yang ekstrim menjurus pada sikap emosional, bahkan mungkin irasional yang kurang bisa dipertanggung jawabkan seperti kecenderungan mengorbankan fakta sejarah atau memanipulasikannya demi suatu teori, pandangan hidup yang dipercayai secara berlebihan atau keberpihakan pada penguasa. Memang sulit untuk menghindar dari subjektivitas, sehingga sejarawan sangat dituntut untuk melakukan penelitian sejarah yang seobjektif mungkin atau setidaknya sebagai suatu ideal. Pokok yang penting bagi sejarawan adalah seperti yang pernah dikemukakan G. J. Renier, “we must not cheat”.
Sedangkan menurut Sartono
Kartodirdjo proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) Sejarah deskriptf-naratif sudah
tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan berbagai masalah yang serba kompleks.
Oleh karena itu obyek yang demikian memuat bebagai aspek atau dimensi
permasalahan, maka konsekuensi logis ialah pendekatan yang mampu mendekatinya.
(2) Pendekatan multi dimensional atau social
scientific adalah yang paling tepat untuk dipergunakan sebagai cara
menggarap masalah diatas. (3) Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan
pesat, sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis
yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis. (4) Lagi pula, studi
sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa,
kapan, di mana dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak berbagai struktur masyarakat,
pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang struktur masyarakat,
dan lain-lain. Kesemuanya itu menurut adanya proses analitis yang tajam dan
mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar