A. Munculnya Kerajaan Moghul.
Peletak dasar dinasti Islam di India adalah Kutbu’ddin
Aibak (1206-1211), yang berhasil mendirikan kerajaan Islam di India yang
merdeka. Setelah merasa cukup kuat untuk mendirikan kekuasaan di India, pada
tahun 1206 ia mendirikan Kesultanan Delhi di India yang berhasil dipertahankan
hingga1290. Dinasti keturunan Aibak sering disebut dinasti keturunan
hamba-hamba raja, karena Aibak sendiri bukanlah keturunan raja. Sultan Balban
adalah raja terakhir dinasti keturunan hamba-hamba raja. Dia tidak meninggalkan
keturunan dan pemerintahan Kesultanan Delhi selanjutnya diambil alih oleh
dinasti raja-raja keturunan Khilji (1290-1321), kemudian dilanjutkan raja-raja keturunan
Tughlak (1321-1399), dinasti para Sayid (1414-1451), dan dinasti raja-raja keturunan
Lodi (1451-1526), kemudian yang terakhir adalah dinasti Dinasti Moghul. Pergantian
pemerintahan para raja yang berkuasa di Delhi tidak mulus begitu saja, tetapi
sering terbentur pertumpahan darah dan saling menjatuhkan. Keturunan ketiga keluarga
Lodi adalah Sultan Ibrahim Lodi (1517-1526) yang dianggap oleh beberapa pembesar
kerajaan kurang cakap memerintah. Paman Ibrahim Lodi yang bernama Dhaulad Khan
dan Alam Khan menjalin kerjasama dengan bangsa Mongol Sultan Babar dari Kabul
(timur Afghanistan) untuk menjatuhkan Ibrahim Lodi. Kelompok Sultan Babur ini
telah lama masuk Islam, dan mereka ahli dalam melakukan peperangan.[1]
Sultan
Babar/Babur adalah seorang keturunan bangsa Turki (pihak ayah) dan bangsa
Padang Pasir Lodi/ Jengis Khan (pihak ibu). Sebagai seorang keturunan Mongol, Babar
memiliki sifat bawaan pemberani dan ahli dalam perang. Ia berpandangan bahwa India
akan berhasil dibangun menjadi imperium yang kuat mengingat kekayaan yang dimilikinya.
Pada saat Babur berkuasa di Kabul, situasi di India sedang dalam masa kekacauan
pada masa pemerintahan Ibrahim Lodi. Kesempatan ini sebagai pintu bagi Babur
untuk merealisasikan impiannya memperluas imperium sampai di India. Sultan
Babur segera menyiapkan pertempuran untuk menjatuhkan raja Lodi. Pada tahun
1526 terjadi pertempuran besar di kota Panipat. Sultan Ibrahim Lodi dapat
dikalahkan oleh tentara Sultan Babur, dan berakhirlah kerajaan Delhi. Sultan
Babar kemudian mendirikan kerajaan Moghul dan pemerintahannya terkenal dengan
nama kesultanan Moghul dengan ibu kotanya di kota Agra.[2]
B. Pemerintahan
Raja-raja Moghul.
1. Pemerintahan
Babur.
Kesultanan Moghul
adalah Dinasti Islam
yang terbesar dan
terakhir di India. Setelah mengalahkan Ibrahim Lodi,
Babur membangun stabilitas politik dan memperkuat angkatan perang serta
melakukan penetrasi. Sampai tahun 1529 wilayah kekuasaan Moghul sangat luas
mulai dari Turkestan sampai Teluk Bengala. Artinya daerah-daerah penting telah
ada di bawah kekuasaan Moghul. Walaupun demikian Babur belum dapat dikatakan
berhasil mengausai seluruh India.
2. Pemerintahan
Humayun.
Pada
tahun 1530 Babur meninggal meninggalkan dua putra yakni Humayun dan Kamran.
Humayun naik tahta menggantikan ayahnya
dengan menghadapi berbagai persoalan gerakan desintegrasi dan ancaman usaha
menjatuhkan kekuasaannya termasuk dari saudaranya sendiri. Waktunya lebih
banyak untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Ancaman paling berat
adalah dari Afghanistan. Kekuatan besar disiapkan untuk menghadapi Sher
Khan (dari Afghanistan) yang berusaha merebut Agra. Humayun
sempat menyingkir dari Agra, dan dengan bantuan Shah Thomas dari Persia Humayun
berhasil menguasai Kabul kembali,
kemudian Agra juga berhasil direbut tahun 1555. Humayun mempunyai putra
bernama Akbar yang lahir semasa pelarian
(1542). Pada tahun 1556 Akbar menggantikan Humayun yang kemudian terkenal
sebagai sultan yang gagah berani dan memiliki prestasi tinggi.
3. Pemantapan
politik Sultan Akbar.
Sultan
Akbar menghadapi persoalan kerajaan yang amat rumit. Dia berprinsip bahwa
kekuatan negara terletak pada tentara dan administrasi.[3]
Berbagai gerakan desintegrasi dan ancaman penjatuhan kekuasaan masih besar di
depannya. Di antaranya adalah keponakan Sultan Sher Shah bernama Sultan
Muhammad Adil Shah yang bekerjasama dengan panglima bangsa Hindu bernama Hemu.
Tetapi kemudian Hemu justru melakukan
perlawanan sendiri dengan menobatkan
diri sebagai Vikramaditya (gelar Chandragupta II yang mashur pada abad IV M).
Upaya penggulingan Sultan Akbar gagal,
bahkan kemudian Delhi dapat direbut kembali dan perluasan kekuasaan terus
dilakukan dengan gemilang. Pada tahun 1576 Rajputana, Gujarat, dan Bengala
telah berhasil dikuasai Sultan Akbar. Dengan demikian pintu barat dan timur
melalui laut di India telah dikuasai Sultan Akbar. Pada waktu naik tahta,
Sultan Akbar baru berumur 13 tahun, sehingga kekuasaan kerajaan dipangku oleh
wazir bernama Bairam Khan. Wazir ini pulalah yang menjadi guru Akbar sejak
kecil sampai naik tahta. Setelah berusia 18 tahun, Akbar mulai melepas berbagai
ketergantungan kepada orang lain. Upaya yang dilakukan Akbar adalah melepaskan
diri dari berbagai orang, keluarga, dan bangsawan yang terlalu mempengaruhi
dirinya. Akbar memiliki pemikiran ke depan untuk membangun India sebagai negara
besar.
Prestasi
politik gemilang Sultan Akbar adalah keberhasilannya mempersatukan berbagai
daerah di India dalam kesultanan Moghul. Usaha ini bukan hal yang
mudah, mengingat pada masa tersebut masih berkembang beberapa kerajaan
Hindu dan Islam yang merdeka. Kegigihan dan kegagahan pasukan perang Akbar
akhirnya berhasil menaklukan satu demi satu
berbagai kerajaan di India. Keberhasilan awal Sultan Akbar diikuti oleh kegemilangan
terhadap perluasan kekuasaan selanjutnya. Tahun 1573 Gujarat berhasil dikuasai
kemudian disusul Bengala tahun 1576. Akbar telah berhasil menguasai daerah-daerah
penting India. Menjelang wafatnya tahun 1605, kekuasaan Moghul semakin mantap.
Akbar juga melakukan akomodasi dengan masyarakat Hindu dengan melakukan
berbagai kebijakan seperti penghapusan Jizya dan Djazia, pelarangan
penyembelihan sapi, bahkan mengangkat beberapa orang Hindu untuk menduduki
menteri-menteri dan pimpinan pasukan.[4]
4. Sultan Jahangir
(1605-1628).
Salim, putra
Akbar dinobatkan sebagai raja
Moghul dengan gelar Sultan Nurud’din
Muhammad Jahangir Pasha Ghazi. Jahangir kontras dengan bapaknya dalam
menegakkan pemerintahan Moghul terutama dalam
menghadapi kelompok Hindu. Dia menghadapi konflik
luar biasa dengan
anaknya sendiri, sampai
kemudian meninggal tahun 1627
menyisakan konflik kerajaan. Kedua putranya bernama Shah Jahan dan Azaf Khan
sama-sama berhasrat menggantikan ayahnya.[5]
5. Masa
pemerintahan Sultan Shah Jahan (1628-1658).
Shah
Jahan akhirnya memenangkan persaingan untuk menggantikan Jahangir sebagai sultan Moghul. Pemerintahan masa Shah Jahan masih menghadapi berbagai gejolak dalam negeri dan ancaman perebutan kekuasaan dari
negara-negara lain. Shah Jahan melanjutkan politik Sultan Akbar dengan melakukan
penaklukan berbagai daerah untuk meredam pemberontakan dan memperluas kerajaan.
Shah
Jahan memiliki putra bernama Aurangzeb yang diberi kekuasaan di Decaan.
Aurangzeb berhasil membuat stabilitas di Decaan terutama dalam menghadapi
kekuatan kerajaan Hindu yang masih berusaha menolak kekuasaan Islam. Persaingan
paling kuat adalah antara Aurangzib dengan
Dara Sikhoh. Dalam
persaingan tersebut Aurangzib berhasil mengalahkan Dara Shikoh,
dan mengambil alih kekuasaan Sultan Moghul tahun 1658.
6. Pemerintahan
Aurangzib Alamgir dan upaya mengembalikan kebijakan jizya (1659-1707).
Sultan
Aurangzib Alamgir (penakluk dunia) dinobatkan di Delhi tahun 1659 segera melakukan kontrol keamanan dalam negeri
dengan mamantapkan kembali kekuasaan di Decaan. Usahanya tidak sia-sia dengan
semakin banyaknya wilayah yang dikuasai. Tinggal bangsa Maratha yang belum benar-benar bisa
ditaklukan Aurangzib. Perlawanan bangsa
Maratha merupakan ancaman paling berat pada masa-masa selanjutnya.
Sampai Aurangzib wafat tahun 1707
bangsa Maratha masih memberikan perlawanan sengit terhadap kesultanan Moghul. Tahun 1707 merupakan
akhir pemerintahan Aungrazi yang tutup
mata pada usia 90 tahun. Kekuasaan Aungrazib
merupakan antiklimaks pemerintahan Moghul
di India. Masa sesudahnya, kekuasaan
Moghul terus mengalami kemunduran.
Konflik saudara dari anak-anak Aungrazib
menyebabkan kekuatan negara kian keropos. Apalagi pada masa pemerintahan Aungrazib,
bangsa-bangsa Barat sudah giat melakukan
perjalanan ke timur. Inggris adalah salah satu bangsa barat yang
berhasil menduduki Surat, pelabuhan di Gujarat pada masa pemerintahan
Aungrazib. Inilah cikal bakal kolonialisme dan imperialisme Barat di India yang
akan mempengaruhi babak baru perjalanan
sejarah bangsa India. Aungrazib menghidupkan kembali jizya yang pernah dicabut
oleh Sultan Akbar, dan melakukan sikap keras terhadap orang-orang
Hindu.[6]
C. Berbagai
peninggalan Dinasti Moghul.
1) Sistem Politik
dan ekonomi.
a. India sebagai
negara merdeka.
Kebesaran
dinasti Moghul tidak hanya ditunjukkan luasnya daerah yang disatukan dalam satu
imperium, tetapi juga berbagai pembaharuan sistem politik. Apabila dicermati,
penetrasi politik Islam pada masa sebelum dinasti Moghul masih memiliki ikatan
kuat dengan dinasti Islam di Asia Barat. Dinasti Moghul dengan raja pertamanya
Kutbu’ddin Aibak telah mendirikan dasar pemerintahan Islam secara merdeka di
India, lepas dari kesultanan di Asia Barat. Hal ini sebagai hal yang unik mengingat
wilayah Asia Selatan (India) bergandengan langsung dengan wilayah Asia Barat,
walaupun secara geografis dipisahkan oleh pegunungan yang sulit dilalui. Sebagai
sebuah negara, wilayah kesultanan Moghul mencapai wilayah terluas di India sepanjang
sejarah sejajar dengan masa pemerintahan Ashoka.
b. Pembagian
wilayah kerajaan.
Kerajaan
Moghul memiliki pemerintah pusat yang beribukota di Delhi, sedangkan
wilayah-wilayah di bawahnya identik dengan sistem propinsi dengan raja muda
yang mengepalainya. Hal ini sebagai bentuk langsung pengaruh sistem pemeintahan
Islam di Asia Barat. Gelar Sultan juga sebagai bentuk nyata pengaruh sistem
politik Islam di Asia Barat. Walaupun secara politik kerajaan Moghul tidak memiliki
ikatan secara langsung, tetapi hukum Islam yang diterapkan di berbagai kerajaan
Islam memiliki peran kuat dalam sistem pemerintahan Moghul. Sebagai bentuk
dinasti, kerajaan Moghul memiliki kelemahan seperti halnya sistem kedinastian
lain. Dalam kerajaan berbentuk dinasti, penguasa tertinggi dilakukan turun-temurun.
Akibatnya keadaan kerajaan sangat tergantung pada kecakapan seorang raja dalam
memerintah. Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan sejarah kerajaan Moghul.
Sultan Akabar dapat dinilai sebagai raja yang cakap dalam memantapkan
stabilitas pemerintahan dan melakukan akomodasi berbagai kekuatan politik yang
menyebabkan perpecahan.
c. Sumber
pendapatan negara.
Pajak merupakan
salah satu sumber utama keuangan kerajaan. Pada masa pemerintahan Islam di
India jizya diterapkan sejak pemerintahan Dinasti Taghluk (1321 – 1388). Jizya
adalah pajak kepala untuk orang-orang non muslim. Sementara untuk orang Islam
zakat merupakan bentuk pajak menurut syariat Islam. Dengan demikian pada
dasarnya baik muslim maupun non muslim memiliki tanggungjawab sama dalam
masalah pajak. Kaum non muslim tetap mendapat perlindungan dari kerajaan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari maupun dalam menjalankan ibadahnya. Pada
masa Sultan Akbar, jizya ini dihapuskan dan digantikan dengan pajak tanah.
Dengan dibantu seorang Hindu bernama Raja Todar Mall Sultan Akbar menerapkan
pajak tanah yang nilainya disesuaikan dengan tingkat kesuburan dan luas tanah.[7] Pada masa Aurangzib jizya
kembali diberlakukan.
2) Perubahan
Sosial.
Semenjak
Islam masuk ke India, pengaruh mendasar yang utama adalah masalah penghapusan
kasta yang telah mendarah daging ratusan tahun lamanya. Islam tidak mengenal
kasta, sehingga oleh sebagian masyarakat Islam di India terutama pada kasta
rendah, kedatangan Islam disambut dengan senang hati. Dampaknya adalah
terjadinya transformasi sosial karena kesetaraan penduduk dalam memperoleh
akses ekonomi dan untuk bagian tertentu adalah menjadi pegawai pemerintah dan
tentara. Perubahan menonjol lainnya adalah masalah kesetaraan gender.
Keberadaan kaum wanita yang selama ratusan tahun menjadi kelompok kelas dua
terangkat oleh masuknya Islam di India. Upacara Sati (menceburkan diri ke api
seorang perempuan dalam pembakaran mayat suaminya) terus terkikis oleh pengaruh
Islam di India. Namun demikian bukan berarti upacara Sati ini terhapus begitu
saja di India. Sampai dengan abad XX upacara Sati masih dilakukan oleh sebagian
masyarakat India.[8]
3) Seni dan
Bangunan.
a) Karya Sastra.
Berbagai
karya sastra banyak muncul di India pada masa Dinasti Moghul. Dalam syariat
Islam tidak ada pemisahan antara politik dan ibadah, antara imam dan pemimpin
pemerintahan. Tiap sendi kehidupan manusia terintegrasi dalam nilai-nilai agama.
Pemimpin kerajaan bukan sekedar melaksanakan roda pemerintahan, tetapi sekaligus
sebagai imam yang berpengetahuan keagamaan tinggi dan pantas diteladani. Tidak
heran bila karya seni dan sastra yang muncul tidak sebatas ditulis para ulama, tetapi
juga para raja. Pada masa raja Akbar riwayat dan pemikiran Sultan Akbar ditulis
oleh filosof Abul Fazl dengan judul A’ini Akbari dan Akbar-nama. Dua kitab
tersebut ditulis dalam bahasa Persi dan kini juga telah diterjemahkan dalam
Bahasa Inggris. Akbar adalah sosok pemimpin yang berusaha menyatukan dua
kekuatan penting di India yakni Islam dan Hindu. Maka beliau terkenal dengan
ajarannya Din-Illahi yang hendak dijadikan agama kerajaan. Beliau juga
mengambil permaisuri seorang Hindu sehingga sebagian ada yang menyangsikan
kehidupan Islam Sultan Akbar. Toleransinya sangat dikenal bahkan memberi
kebebasan para misionaris Barat untuk menyebarkan agama Kristen di India. Raja Jahangir
juga meninggalkan karya satra dengan menulis riwayat hidupnya dalam kitab
Tzuk-i-Jahangiri. Abdul Hamid Lahori, seorang sejarawan pada masa Shah Jahan
menulis riwayat hidup Shah Jahan dalam kitab Padchah Nama.
b) Bangunan.
Sultan
Akbar tidak hanya terkenal sebagai raja yang disegani karena keberaniannya
dalam peperangan. Pemerintahan beliau juga meninggalkan berbagai bangunan
penting seperti bangunan masjid dan istana di kota Agra. Pada tahun 1636 Sultan
Shah Jahan berhasil menguasai dua kerajaan penting berhasil dikuasai yakni
Ahmadnagar dan Bijabur. Pada saat perluasan kekuasaan tersebut permaisurinya
Mumtaz-i-Mahal meninggal tahun 1631. Begitu cintanya pada istrinya, Shah Jahan
mengenangnya dengan membuat mega proyek makam Mumtaz Mahal yang artinya mutiara
istana yang dibangun tahun 1631-1648 dengan melibatkan 20.000 pekerja.[9] Bangunan
makam tersebut dilengkapi dengan masjid dan taman dengan arsitek tinggi.
Kemashurannya sampai di penjuru benua, dan saat ini merupakan salah satu
keajaiban dunia. Shah Jahan juga telah membuat rencana bangunan makam untuk
dirinya yang rencananya tidak kalah indahnya dengan Mumtaz Mahal. Tetapi wasiat
itu tidak dilaksanakan penggantinya Aurangzib yang tidak menyukai kemegahan
bangunan. Jenazah Shah Jahan dimakamkan berdampingan dengan istri tercintanya
Mumtaz Mahal.
D. Keruntuhan
Dinasti Mughal.
Setelah
meninggalnya Aurangzib situasi Dinasti Moghul semakin menunjukkan tanda-tanda
keruntuhan, sementara kelompok Maratha justru menunjukkan kekuatannya baik
dalam menggalang kekuatan maupun luas wilayah. Tiga keturunan Aungrazib yakni
Muazzam, Azzam, dan Kambakhsh saling berselisih memperebutkan warisan Muazzam
ternyata lebih kuat dan berhasil menobatkan diri sebagai penerus Moghul dengan
gelar Sultan Bahadur Shah/Muhammad Syah (1707-1712 M). Kepemimpinan Sultan
Bahadur Shah menghadapi keadaan kerajaan yang sulit untuk dikendalikan. Beberapa
pemberontakan menggoyang eksistensi Moghul, termasuk pemberontakan kaum Sikh
sebagai kelompok ‘agama’ baru yang merupakan sinkritisme Hindu dan Islam.
Secara politik sampai dengan keruntuhannya, kesultanan Moghul tinggal berusaha
mempertahankan eksistensinya. Para sultan yang berkuasa tidak mampu menyatukan
kerajaan. Kerajaan-kerajaan berusaha melepaskan diri dari
kekuasaan Moghul. Konflik keluarga kerajaan terus memperlemah kekuasaan
dan mendorong gerakan desintegrasi
terus menjalar. Sepeninggal Sultan Bahadur Shah (1712) terjadi perebutan
kekuasaan oleh empat putranya. Jahamdar Shah berhasil naik tahta kerajaan
selama 11 bulan, karena pada tahun 1713 ia dibunuh keponakannya bernama
Farukhsiyar yang kemudian berhasil naik tahta hingga tahun 1719. Para sultan
yang memerintah sampai dengan tahun 1761 adalah Sultan Muhammad Shah, Ahmad
Shah, dan Alamgir II. Sementara kerajaan-kerajaan merdeka terus berdiri sendiri
seperti Hydrabad, Quth, dan Bengala. Dengan begitu kekuataan kesultanan Moghul
semakin lemah.
Bangsa
Maratha adalah kelompok yang paling diuntungkan dengan situasi demikian. Mereka
juga telah berhasil membangun kekuatan dan sistem pemerintahan yang lebih rapi.
Sedikit-demi sedikit daerah yang dahulu dikuasai kesultanan Moghul direbutnya, seperti
Gujarat dan Malwa. Pada tahun 1758 Punjab telah berhasil dikuasai Maratha.
Dalam keadaan yang semakin kacau, para raja Islam mulai sadar untuk melakukan persatuan
melawan Maratha. Para raja Islam bersekutu dan meminta bantuan Sultan Ahmad
Shah Durrani dari Afghanistan. Pada tahun 1760 Maratha telah menyerang Delhi
dan terus bergerak ke utara. Pada tahun 1761 pecah pertempuran di dekat kota
Panipat antara pasukan Maratha dengan pasukan gabungan kerajaan Islam India dan
tentara Sultan Ahmad Shah Durrani. Perang tersebut merupakan klimaks perlawanan
Maratha terhadap kerajaan Islam di India, karena mereka tidak lagi berani
mengusik kekuasaan Moghul di India. Keberhasilan
menangkis perlawanan bangsa Maratha tidak serta merta membawa dinasti Moghul
dalam kejayaan kembali. Kerajaan-kerajaan Islam yang semula bergabung melawan
Maratha kembali melakukan rutinitasnya
sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Tidak ada upaya nyata dalam menyatukan
berbagai kerajaan tersebut.[10]
[1] TSG Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan.(Jakarta: Balai Pustaka 1952), 40
[2] Tuti Nuriah Erwin. Asia Selatan dalam Sejarah. (Jakarta
: Lembaga Penerbit Universitas
Indonesia
1990),.37.
[5] ODP Sihombing.,
Op.Cit., 72
[6] Amal Hamzah. Dunia Sekitar Kita, Pakistan Sebuah Negara Islam Muda. (Jakarta:
Djambatan. 1952), 19
[7]
TSG Mulia. Op.cit,48
[8] Rychard
Symonds. Op.cit.19
[9] Ruslan dan Feby Nurhayati. Di Balik Pesona Tujuh
Keajaiban (Baru) Dunia. (Yogyakarta: Ombak.2007)
[10]
TSG Mulia. Op.cit,48