Senin, 16 April 2012


A.    Munculnya Kerajaan Moghul.
            Peletak dasar dinasti Islam di India adalah Kutbu’ddin Aibak (1206-1211), yang berhasil mendirikan kerajaan Islam di India yang merdeka. Setelah merasa cukup kuat untuk mendirikan kekuasaan di India, pada tahun 1206 ia mendirikan Kesultanan Delhi di India yang berhasil dipertahankan hingga1290. Dinasti keturunan Aibak sering disebut dinasti keturunan hamba-hamba raja, karena Aibak sendiri bukanlah keturunan raja. Sultan Balban adalah raja terakhir dinasti keturunan hamba-hamba raja. Dia tidak meninggalkan keturunan dan pemerintahan Kesultanan Delhi selanjutnya diambil alih oleh dinasti raja-raja keturunan Khilji (1290-1321), kemudian dilanjutkan raja-raja keturunan Tughlak (1321-1399), dinasti para Sayid (1414-1451), dan dinasti raja-raja keturunan Lodi (1451-1526), kemudian yang terakhir adalah dinasti Dinasti Moghul. Pergantian pemerintahan para raja yang berkuasa di Delhi tidak mulus begitu saja, tetapi sering terbentur pertumpahan darah dan saling menjatuhkan. Keturunan ketiga keluarga Lodi adalah Sultan Ibrahim Lodi (1517-1526) yang dianggap oleh beberapa pembesar kerajaan kurang cakap memerintah. Paman Ibrahim Lodi yang bernama Dhaulad Khan dan Alam Khan menjalin kerjasama dengan bangsa Mongol Sultan Babar dari Kabul (timur Afghanistan) untuk menjatuhkan Ibrahim Lodi. Kelompok Sultan Babur ini telah lama masuk Islam, dan mereka ahli dalam melakukan peperangan.[1]
Sultan Babar/Babur adalah seorang keturunan bangsa Turki (pihak ayah) dan bangsa Padang Pasir Lodi/ Jengis Khan (pihak ibu). Sebagai seorang keturunan Mongol, Babar memiliki sifat bawaan pemberani dan ahli dalam perang. Ia berpandangan bahwa India akan berhasil dibangun menjadi imperium yang kuat mengingat kekayaan yang dimilikinya. Pada saat Babur berkuasa di Kabul, situasi di India sedang dalam masa kekacauan pada masa pemerintahan Ibrahim Lodi. Kesempatan ini sebagai pintu bagi Babur untuk merealisasikan impiannya memperluas imperium sampai di India. Sultan Babur segera menyiapkan pertempuran untuk menjatuhkan raja Lodi. Pada tahun 1526 terjadi pertempuran besar di kota Panipat. Sultan Ibrahim Lodi dapat dikalahkan oleh tentara Sultan Babur, dan berakhirlah kerajaan Delhi. Sultan Babar kemudian mendirikan kerajaan Moghul dan pemerintahannya terkenal dengan nama kesultanan Moghul dengan ibu kotanya di kota Agra.[2]

B.     Pemerintahan Raja-raja Moghul.
1.      Pemerintahan Babur.
            Kesultanan   Moghul   adalah   Dinasti   Islam   yang   terbesar   dan   terakhir   di   India. Setelah mengalahkan Ibrahim Lodi, Babur membangun stabilitas politik dan memperkuat angkatan perang serta melakukan penetrasi. Sampai tahun 1529 wilayah kekuasaan Moghul sangat luas mulai dari Turkestan sampai Teluk Bengala. Artinya daerah-daerah penting telah ada di bawah kekuasaan Moghul. Walaupun demikian Babur belum dapat dikatakan berhasil mengausai seluruh India.
2.      Pemerintahan Humayun.
            Pada tahun 1530 Babur meninggal meninggalkan dua putra yakni Humayun dan Kamran. Humayun naik tahta  menggantikan ayahnya dengan menghadapi berbagai persoalan gerakan desintegrasi dan ancaman usaha menjatuhkan kekuasaannya termasuk dari saudaranya sendiri. Waktunya lebih banyak untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Ancaman paling berat adalah dari Afghanistan. Kekuatan besar disiapkan untuk menghadapi Sher Khan   (dari  Afghanistan) yang berusaha merebut Agra. Humayun sempat menyingkir dari Agra, dan dengan bantuan Shah Thomas dari Persia Humayun berhasil menguasai Kabul kembali,  kemudian Agra juga berhasil direbut tahun 1555. Humayun mempunyai putra bernama  Akbar yang lahir semasa pelarian (1542). Pada tahun 1556 Akbar menggantikan Humayun yang kemudian terkenal sebagai sultan yang gagah berani dan memiliki prestasi tinggi.
3.      Pemantapan politik Sultan Akbar.
            Sultan Akbar menghadapi persoalan kerajaan yang amat rumit. Dia berprinsip bahwa kekuatan negara terletak pada tentara dan administrasi.[3] Berbagai gerakan desintegrasi dan ancaman penjatuhan kekuasaan masih besar di depannya. Di antaranya adalah keponakan Sultan Sher Shah bernama Sultan Muhammad Adil Shah yang bekerjasama dengan panglima bangsa Hindu bernama Hemu. Tetapi  kemudian Hemu justru melakukan perlawanan  sendiri dengan menobatkan diri sebagai Vikramaditya (gelar Chandragupta II yang mashur pada abad IV M). Upaya penggulingan Sultan Akbar gagal,   bahkan kemudian Delhi dapat direbut kembali dan perluasan kekuasaan terus dilakukan dengan gemilang. Pada tahun 1576 Rajputana, Gujarat, dan Bengala telah berhasil dikuasai Sultan Akbar. Dengan demikian pintu barat dan timur melalui laut di India telah dikuasai Sultan Akbar. Pada waktu naik tahta, Sultan Akbar baru berumur 13 tahun, sehingga kekuasaan kerajaan dipangku oleh wazir bernama Bairam Khan. Wazir ini pulalah yang menjadi guru Akbar sejak kecil sampai naik tahta. Setelah berusia 18 tahun, Akbar mulai melepas berbagai ketergantungan kepada orang lain. Upaya yang dilakukan Akbar adalah melepaskan diri dari berbagai orang, keluarga, dan bangsawan yang terlalu mempengaruhi dirinya. Akbar memiliki pemikiran ke depan untuk membangun India sebagai negara besar.
            Prestasi politik gemilang Sultan Akbar adalah keberhasilannya mempersatukan berbagai daerah di India dalam kesultanan Moghul. Usaha ini bukan hal   yang   mudah, mengingat pada masa tersebut masih berkembang beberapa kerajaan Hindu dan Islam yang merdeka. Kegigihan dan kegagahan pasukan perang Akbar akhirnya berhasil menaklukan  satu demi satu berbagai kerajaan di India. Keberhasilan awal Sultan Akbar diikuti oleh kegemilangan terhadap perluasan kekuasaan selanjutnya. Tahun 1573 Gujarat berhasil dikuasai kemudian disusul Bengala tahun 1576. Akbar telah berhasil menguasai daerah-daerah penting India. Menjelang wafatnya tahun 1605, kekuasaan Moghul semakin mantap. Akbar juga melakukan akomodasi dengan masyarakat Hindu dengan melakukan berbagai kebijakan seperti penghapusan Jizya dan Djazia, pelarangan penyembelihan sapi, bahkan mengangkat beberapa orang Hindu untuk menduduki menteri-menteri dan pimpinan pasukan.[4]
4.      Sultan Jahangir (1605-1628).
            Salim,  putra  Akbar dinobatkan  sebagai raja Moghul dengan gelar  Sultan Nurud’din Muhammad Jahangir Pasha Ghazi. Jahangir kontras dengan bapaknya dalam menegakkan pemerintahan Moghul terutama dalam  menghadapi kelompok Hindu. Dia menghadapi       konflik   luar   biasa   dengan   anaknya   sendiri,   sampai   kemudian   meninggal tahun 1627 menyisakan konflik kerajaan. Kedua putranya bernama Shah Jahan dan Azaf Khan sama-sama berhasrat menggantikan ayahnya.[5]
5.      Masa pemerintahan Sultan Shah Jahan (1628-1658).
            Shah Jahan akhirnya memenangkan persaingan untuk menggantikan Jahangir sebagai    sultan Moghul. Pemerintahan  masa Shah Jahan masih menghadapi  berbagai gejolak dalam   negeri dan ancaman perebutan kekuasaan dari negara-negara lain. Shah Jahan melanjutkan politik Sultan Akbar dengan melakukan penaklukan berbagai daerah untuk meredam pemberontakan dan memperluas kerajaan.
            Shah Jahan memiliki putra bernama Aurangzeb yang diberi kekuasaan di Decaan. Aurangzeb berhasil membuat stabilitas di Decaan terutama dalam menghadapi kekuatan kerajaan Hindu yang masih berusaha menolak kekuasaan Islam. Persaingan paling kuat adalah antara  Aurangzib   dengan   Dara   Sikhoh.   Dalam   persaingan   tersebut   Aurangzib berhasil mengalahkan Dara Shikoh, dan mengambil alih kekuasaan Sultan Moghul tahun 1658.
6.      Pemerintahan Aurangzib Alamgir dan upaya mengembalikan kebijakan jizya (1659-1707).
            Sultan Aurangzib Alamgir (penakluk dunia) dinobatkan di Delhi tahun 1659 segera     melakukan kontrol keamanan dalam negeri dengan mamantapkan kembali kekuasaan di Decaan. Usahanya tidak sia-sia dengan semakin banyaknya wilayah yang dikuasai. Tinggal     bangsa Maratha yang belum benar-benar bisa ditaklukan Aurangzib. Perlawanan bangsa   Maratha merupakan ancaman paling berat pada masa-masa selanjutnya. Sampai Aurangzib   wafat tahun 1707 bangsa Maratha masih memberikan perlawanan sengit terhadap     kesultanan Moghul. Tahun 1707 merupakan akhir pemerintahan Aungrazi  yang tutup mata   pada usia 90 tahun. Kekuasaan Aungrazib merupakan antiklimaks pemerintahan Moghul        di  India. Masa sesudahnya, kekuasaan Moghul terus  mengalami kemunduran. Konflik    saudara dari anak-anak Aungrazib menyebabkan kekuatan negara kian keropos. Apalagi     pada masa pemerintahan Aungrazib, bangsa-bangsa Barat sudah giat melakukan      perjalanan ke timur. Inggris adalah salah satu bangsa barat yang berhasil menduduki Surat, pelabuhan di Gujarat pada masa pemerintahan Aungrazib. Inilah cikal bakal kolonialisme dan imperialisme Barat di India yang akan mempengaruhi babak  baru perjalanan sejarah bangsa India. Aungrazib menghidupkan kembali jizya yang pernah dicabut oleh Sultan   Akbar, dan   melakukan sikap keras terhadap orang-orang Hindu.[6]
C.    Berbagai peninggalan Dinasti Moghul.
1)      Sistem Politik dan ekonomi.
a.       India sebagai negara merdeka.
            Kebesaran dinasti Moghul tidak hanya ditunjukkan luasnya daerah yang disatukan dalam satu imperium, tetapi juga berbagai pembaharuan sistem politik. Apabila dicermati, penetrasi politik Islam pada masa sebelum dinasti Moghul masih memiliki ikatan kuat dengan dinasti Islam di Asia Barat. Dinasti Moghul dengan raja pertamanya Kutbu’ddin Aibak telah mendirikan dasar pemerintahan Islam secara merdeka di India, lepas dari kesultanan di Asia Barat. Hal ini sebagai hal yang unik mengingat wilayah Asia Selatan (India) bergandengan langsung dengan wilayah Asia Barat, walaupun secara geografis dipisahkan oleh pegunungan yang sulit dilalui. Sebagai sebuah negara, wilayah kesultanan Moghul mencapai wilayah terluas di India sepanjang sejarah sejajar dengan masa pemerintahan Ashoka.
b.      Pembagian wilayah kerajaan.
            Kerajaan Moghul memiliki pemerintah pusat yang beribukota di Delhi, sedangkan wilayah-wilayah di bawahnya identik dengan sistem propinsi dengan raja muda yang mengepalainya. Hal ini sebagai bentuk langsung pengaruh sistem pemeintahan Islam di Asia Barat. Gelar Sultan juga sebagai bentuk nyata pengaruh sistem politik Islam di Asia Barat. Walaupun secara politik kerajaan Moghul tidak memiliki ikatan secara langsung, tetapi hukum Islam yang diterapkan di berbagai kerajaan Islam memiliki peran kuat dalam sistem pemerintahan Moghul. Sebagai bentuk dinasti, kerajaan Moghul memiliki kelemahan seperti halnya sistem kedinastian lain. Dalam kerajaan berbentuk dinasti, penguasa tertinggi dilakukan turun-temurun. Akibatnya keadaan kerajaan sangat tergantung pada kecakapan seorang raja dalam memerintah. Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan sejarah kerajaan Moghul. Sultan Akabar dapat dinilai sebagai raja yang cakap dalam memantapkan stabilitas pemerintahan dan melakukan akomodasi berbagai kekuatan politik yang menyebabkan perpecahan.
c.       Sumber pendapatan negara.
            Pajak merupakan salah satu sumber utama keuangan kerajaan. Pada masa pemerintahan Islam di India jizya diterapkan sejak pemerintahan Dinasti Taghluk (1321 – 1388). Jizya adalah pajak kepala untuk orang-orang non muslim. Sementara untuk orang Islam zakat merupakan bentuk pajak menurut syariat Islam. Dengan demikian pada dasarnya baik muslim maupun non muslim memiliki tanggungjawab sama dalam masalah pajak. Kaum non muslim tetap mendapat perlindungan dari kerajaan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari maupun dalam menjalankan ibadahnya. Pada masa Sultan Akbar, jizya ini dihapuskan dan digantikan dengan pajak tanah. Dengan dibantu seorang Hindu bernama Raja Todar Mall Sultan Akbar menerapkan pajak tanah yang nilainya disesuaikan dengan tingkat kesuburan dan luas tanah.[7] Pada masa Aurangzib jizya kembali diberlakukan.
2)      Perubahan Sosial.
            Semenjak Islam masuk ke India, pengaruh mendasar yang utama adalah masalah penghapusan kasta yang telah mendarah daging ratusan tahun lamanya. Islam tidak mengenal kasta, sehingga oleh sebagian masyarakat Islam di India terutama pada kasta rendah, kedatangan Islam disambut dengan senang hati. Dampaknya adalah terjadinya transformasi sosial karena kesetaraan penduduk dalam memperoleh akses ekonomi dan untuk bagian tertentu adalah menjadi pegawai pemerintah dan tentara. Perubahan menonjol lainnya adalah masalah kesetaraan gender. Keberadaan kaum wanita yang selama ratusan tahun menjadi kelompok kelas dua terangkat oleh masuknya Islam di India. Upacara Sati (menceburkan diri ke api seorang perempuan dalam pembakaran mayat suaminya) terus terkikis oleh pengaruh Islam di India. Namun demikian bukan berarti upacara Sati ini terhapus begitu saja di India. Sampai dengan abad XX upacara Sati masih dilakukan oleh sebagian masyarakat India.[8]
3)      Seni dan Bangunan.
a)      Karya Sastra.
            Berbagai karya sastra banyak muncul di India pada masa Dinasti Moghul. Dalam syariat Islam tidak ada pemisahan antara politik dan ibadah, antara imam dan pemimpin pemerintahan. Tiap sendi kehidupan manusia terintegrasi dalam nilai-nilai agama. Pemimpin kerajaan bukan sekedar melaksanakan roda pemerintahan, tetapi sekaligus sebagai imam yang berpengetahuan keagamaan tinggi dan pantas diteladani. Tidak heran bila karya seni dan sastra yang muncul tidak sebatas ditulis para ulama, tetapi juga para raja. Pada masa raja Akbar riwayat dan pemikiran Sultan Akbar ditulis oleh filosof Abul Fazl dengan judul A’ini Akbari dan Akbar-nama. Dua kitab tersebut ditulis dalam bahasa Persi dan kini juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris. Akbar adalah sosok pemimpin yang berusaha menyatukan dua kekuatan penting di India yakni Islam dan Hindu. Maka beliau terkenal dengan ajarannya Din-Illahi yang hendak dijadikan agama kerajaan. Beliau juga mengambil permaisuri seorang Hindu sehingga sebagian ada yang menyangsikan kehidupan Islam Sultan Akbar. Toleransinya sangat dikenal bahkan memberi kebebasan para misionaris Barat untuk menyebarkan agama Kristen di India. Raja Jahangir juga meninggalkan karya satra dengan menulis riwayat hidupnya dalam kitab Tzuk-i-Jahangiri. Abdul Hamid Lahori, seorang sejarawan pada masa Shah Jahan menulis riwayat hidup Shah Jahan dalam kitab Padchah Nama.
b)      Bangunan.
            Sultan Akbar tidak hanya terkenal sebagai raja yang disegani karena keberaniannya dalam peperangan. Pemerintahan beliau juga meninggalkan berbagai bangunan penting seperti bangunan masjid dan istana di kota Agra. Pada tahun 1636 Sultan Shah Jahan berhasil menguasai dua kerajaan penting berhasil dikuasai yakni Ahmadnagar dan Bijabur. Pada saat perluasan kekuasaan tersebut permaisurinya Mumtaz-i-Mahal meninggal tahun 1631. Begitu cintanya pada istrinya, Shah Jahan mengenangnya dengan membuat mega proyek makam Mumtaz Mahal yang artinya mutiara istana yang dibangun tahun 1631-1648 dengan melibatkan 20.000 pekerja.[9] Bangunan makam tersebut dilengkapi dengan masjid dan taman dengan arsitek tinggi. Kemashurannya sampai di penjuru benua, dan saat ini merupakan salah satu keajaiban dunia. Shah Jahan juga telah membuat rencana bangunan makam untuk dirinya yang rencananya tidak kalah indahnya dengan Mumtaz Mahal. Tetapi wasiat itu tidak dilaksanakan penggantinya Aurangzib yang tidak menyukai kemegahan bangunan. Jenazah Shah Jahan dimakamkan berdampingan dengan istri tercintanya Mumtaz Mahal.
D.    Keruntuhan Dinasti Mughal.
            Setelah meninggalnya Aurangzib situasi Dinasti Moghul semakin menunjukkan tanda-tanda keruntuhan, sementara kelompok Maratha justru menunjukkan kekuatannya baik dalam menggalang kekuatan maupun luas wilayah. Tiga keturunan Aungrazib yakni Muazzam, Azzam, dan Kambakhsh saling berselisih memperebutkan warisan Muazzam ternyata lebih kuat dan berhasil menobatkan diri sebagai penerus Moghul dengan gelar Sultan Bahadur Shah/Muhammad Syah (1707-1712 M). Kepemimpinan Sultan Bahadur Shah menghadapi keadaan kerajaan yang sulit untuk dikendalikan. Beberapa pemberontakan menggoyang eksistensi Moghul, termasuk pemberontakan kaum Sikh sebagai kelompok ‘agama’ baru yang merupakan sinkritisme Hindu dan Islam. Secara politik sampai dengan keruntuhannya, kesultanan Moghul tinggal berusaha mempertahankan eksistensinya. Para sultan yang berkuasa tidak mampu menyatukan kerajaan. Kerajaan-kerajaan berusaha melepaskan diri  dari  kekuasaan Moghul. Konflik keluarga kerajaan terus memperlemah kekuasaan dan   mendorong gerakan desintegrasi terus menjalar. Sepeninggal Sultan Bahadur Shah (1712) terjadi perebutan kekuasaan oleh empat putranya. Jahamdar Shah berhasil naik tahta kerajaan selama 11 bulan, karena pada tahun 1713 ia dibunuh keponakannya bernama Farukhsiyar yang kemudian berhasil naik tahta hingga tahun 1719. Para sultan yang memerintah sampai dengan tahun 1761 adalah Sultan Muhammad Shah, Ahmad Shah, dan Alamgir II. Sementara kerajaan-kerajaan merdeka terus berdiri sendiri seperti Hydrabad, Quth, dan Bengala. Dengan begitu kekuataan kesultanan Moghul semakin lemah.
            Bangsa Maratha adalah kelompok yang paling diuntungkan dengan situasi demikian. Mereka juga telah berhasil membangun kekuatan dan sistem pemerintahan yang lebih rapi. Sedikit-demi sedikit daerah yang dahulu dikuasai kesultanan Moghul direbutnya, seperti Gujarat dan Malwa. Pada tahun 1758 Punjab telah berhasil dikuasai Maratha. Dalam keadaan yang semakin kacau, para raja Islam mulai sadar untuk melakukan persatuan melawan Maratha. Para raja Islam bersekutu dan meminta bantuan Sultan Ahmad Shah Durrani dari Afghanistan. Pada tahun 1760 Maratha telah menyerang Delhi dan terus bergerak ke utara. Pada tahun 1761 pecah pertempuran di dekat kota Panipat antara pasukan Maratha dengan pasukan gabungan kerajaan Islam India dan tentara Sultan Ahmad Shah Durrani. Perang tersebut merupakan klimaks perlawanan Maratha terhadap kerajaan Islam di India, karena mereka tidak lagi berani mengusik  kekuasaan Moghul di India. Keberhasilan menangkis perlawanan bangsa Maratha tidak serta merta membawa dinasti Moghul dalam kejayaan kembali. Kerajaan-kerajaan Islam yang semula bergabung melawan Maratha kembali    melakukan rutinitasnya sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Tidak ada upaya nyata dalam menyatukan berbagai kerajaan tersebut.[10]


[1] TSG Mulia. India Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan.(Jakarta: Balai Pustaka 1952), 40
[2] Tuti Nuriah Erwin. Asia Selatan dalam Sejarah. (Jakarta : Lembaga Penerbit Universitas
Indonesia 1990),.37.
[3] ODP Sihombing. India, Sejarah dan Kebudayaannya. (Bandung: W. Van Hoeve,1953), 70.
[4] Richard Symons. Pembinaan Pakistan. Jakarta: Balai Pustaka 1951
[5] ODP Sihombing., Op.Cit., 72
[6] Amal Hamzah. Dunia Sekitar Kita, Pakistan Sebuah Negara Islam Muda. (Jakarta: Djambatan. 1952), 19
[7] TSG Mulia. Op.cit,48
[8] Rychard Symonds. Op.cit.19
[9] Ruslan dan Feby Nurhayati. Di Balik Pesona Tujuh Keajaiban (Baru) Dunia. (Yogyakarta: Ombak.2007)
[10] TSG Mulia. Op.cit,48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar