Hakikat serta pengertian demokrasi.
Demokrasi adalah pemerintahan
rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.[1]
Demokrasi dalam istilah politik barat, arti menurut para penganutnya adalah
kedaulatan rakyat. Adapun kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi tanpa batas,
tidak di kendalikan oleh kekuasaan apapun. Kekuasaan ini berupa hak para penguasa
dan hak membuat perundang-undangan sesuai dengan kemauan mereka. Dalam hal ini,
rakyat mewakilkan kekuasaannya kepada orang-orang yang mereka pilih di
parlemen. Para wakil rakyat inilah yang
mewakili mereka dalam hal menjalankan kekuasaan. Di sebutkan dalam Mausu’atus
siyasah, bahwa semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pikiran,
yaitu kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya,
pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan berada di tangan
rakyat.
Pengertian kedaulatan
- Menurut Abdul Hamid Mutawali, dosen perundang-undangan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya.
- Yosef Frankl, seorang politikus Barat berkata bahwa yang di maksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi, yang tidak mengenal kekuasaan lebih tinggi dari padanya, atau yang berada di belakangnya, yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Inilah arti dasar kedaulatan yang tidak pernah mengalami perubahan sampai sekarang.
- John Bodn, pada tahun 1576 mendefinisikan pula tentang kedaulatan rakyat. Intinya ia menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada di atas penduduk dan rakyat dan tidak di batasi oleh undang-undang.[2]
Dalam kasus Indonesia,
adalah klise untuk mengatakan bahwa Islam menjadi faktor yang penting di balik
pesatnya pertumbuhan demokrasi. Sering
di katakan bahwa Indonesia adalah contoh sukses kesesuaian antara Islam dan
demokrasi.[3]
Gellner
menemukan bahwa Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family
resemblences) dengan demokrasi. Demikian pula Robert N. Bellah sampai pada
kesimpulan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang di kembangkan nabi Muhammad
di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif. Demikian terkesannya Bellah
sehingga berani menilai bahwa apa yang di lakukan Nabi adalah terlalu modern
untuk ukuran zamannya.[4] Gellner maupun Bellah
berkesimpulan tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi atas dasar penelitian
mereka terhadap doktrin dan praktik politik Islam. Di sini doktrin tentang
keadilan (al-‘adl), egalitarianisme (al-musawah); musyawarah atau
negosiasi (syura) terealisasikan di dalam praktek politik kenegaraan
awal Islam yang di nilai modern itu. Disebut modern karena adanya komitmen,
keterlibatan, dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah.
Struktur politik yang di kembangkan juga
modern dalam artian adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang
didasarkan pada prinsip meritokrasi dan tidak bersifat hereditary.
Bentuk kemodernan yang seperti itulah yang di pandang sebanding dengan
kehidupan politik demokratis.[5]
Karena
sesungguhnya Islam adalah agama yang demokratis. Ada beberapa alasan mengapa
Islam sebagai agama yang demokrasi:
Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama
Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan
tertinggi hingga rakyat jelata di kenal hukum yang sama. Kalau tidak demikian,
maka hukum dalam Islam tidak jalan dalam kehidupan
kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. “Amruhum
syuraa bainahum”, artinya perkara-perkara mereka di bicarakan di antara
mereka. Dengan demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama mengajukan
pemikiran secara bebas dan terbuka pada akhirnya di akhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan.
Karena dunia ini pada hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di akhirat. “Wakhiratu
khairu wabqa”, akhirat itu lebih baik dan lebih langgeng. Karena itu
kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap, harus tetap ada peningkatan untuk
menghadapi kehidupan yang lebih baik di akhirat.[6]
Persamaan
dan Perbedaan Islam dan Demokrasi.
Persamaan Islam
& Demokrasi.
Dr.
Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam
dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya:
Jika
demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan,
itupun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting
dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan
terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum
didasarkan pada al-Quran dan Hadist, ijma’, atau ijtihad. Dengan demikian,
pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam.
Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah
(kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen
karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan
penguasa atau presiden, melainkan berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau
perintah Allah Swt.
Demokrasi
seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu
pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus
memahami Islam secara komprehensif.
Demokrasi
adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas
persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan,
realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti
hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam
Islam.
Perbedaan Islam
& Demokrasi.
Demokrasi
yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah,
iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata
lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang
digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas
wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan
akidah, pemikiran dan perasaan. Siapapun yang mengikuti Islam, ia masuk salah
satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan
lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat
internasional.
Tujuan-tujuan
demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah
tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan
hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan
kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau
gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi
(materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
Kedaulatan
umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat
adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau
kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan
terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat
bertindak melebihi batasan-batasan syariat, al-Quran dan as-Sunnah tanpa mendapat
sanksi.[7]
Keberhasilan
meyelenggarakan pemilu pada tahun 1999 dan 2004, di gunakan sebagai contoh
kesuksesan demokrasi di negara ini. Bahkan cerita kesuksesan tersebut dipuji
oleh majalah terkemuka The Economist, yang menggambarkannya sebagai
‘contoh bagus” demokrasi di seluruh negara-negara Islam.[8] Salah satu argumen yang
sering kali di gunakan sebagai justifikasi teoritis eksistensi demokrasi di
Indonesia adalah karakteristik Islam di negara ini, yang di katakan berbeda
dengan di timur tengah. Islam di Indonesia telah lama diakui sebagai agama yang
pluralis dan toleran, beberapa mengatakan heterodoks, karena metode dakwah yang
di gunakan kepada penduduk lokal tanpa menggunakan kekerasan ataupun perang.
Islam di Indonesia dikatakan bisa hidup berdampingan dengan kultur setempat
seperti animisme, atau Hindu-Budha. Islam sebagian besar masuk ke Indonesia
sebagai converting cultural force, bukan sebagai penakluk, sebagaimana
terjadi di negara-negara lain.[9]
Di
tengah-tengah interaksi antara negara dan masyarakat, islam menjadi variabel
penting dalam proses yang panjang ini. Hefner meyakinkan bahwa proses
demokratisasi di Indonesia akan menghasilkan bentuk yang berbeda dengan
demokrasi Barat, dimana terjadi pemisahan antara agama dan negara. Pemikiran
tersebut berdasarkan paradigma aksiomatik bahwa “tidak ada satu standard
demokrasi” ( one-size-fits-all-democracy), Hefner berargumen bahwa
demokratisasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gerakan islam sebagai
kekuatan budaya yang utama.[10] Berangkat dari terma
Civil Islam dan Islam Publik, Hefner menekankan bahwa Indonesia bisa
mengembangkan bentuk demokrasinya sendiri, bukan demokrasi sekuler dan liberal
seperti yang di pahami wacana Barat. Dengan kata lain, karakter demokrasi di
Indonesia adalah bersandingnya antara agama dan ruang publik. Demokrasi sekuler
mengandaikan tersingkirnya agama dari ruang publik untuk berorientasi pada
ruang privat. Oleh karenanya, wacana politik Islam tidaklah identik dengan
liberalisme Barat. Salah satu alasannya, umat Islam percaya bahwa agamanya
memberikan aturan terhadap beberapa persoalan publik. Tampaknya Hafner menerima
satu ungkapan bahwa Islam adalah din wa al-dawlah, agama dan negara.[11]
[1] Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, Kamus lengkap bahasa Indonesia
modern, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2003), 147
[2] Abu Bakar Ba’asyir , Catatan dari Penjara untuk Mengamalkan dan
Menegakkan Dinul Islam, ( Depok: Mushaf, 2006 ), 32-34
[3] Masdar Hilmy, Teologi Perlawanan Islamisme dan Diskursus Demokrasi
di Indonesia Pasca Orde Baru, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2009),
108
[4] Zainul Kamal, dkk, Islam, Negara dan Civil Society, (Jakarta:
PARAMADINA (Anggota IKAPI), 2005), 160-161
[5] Ibid, 161
[6] Abdurrahman Wahid, membangun demokrasi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1999), 85
[7] wordpress.com/.../tugas-makalah-islam-dan-demokrasi-kel-8.doc
[8] Ibid, Teologi Perlawanan Islamisme dan Diskursus Demokrasi di
Indonesia ..., 108
[9] Ibid, 109
[10] Ibid, 111
[11] Ibid, 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar