Senin, 16 April 2012

Islam dan Demokrasi



Hakikat serta pengertian demokrasi.
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.[1] Demokrasi dalam istilah politik barat, arti menurut para penganutnya adalah kedaulatan rakyat. Adapun kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi tanpa batas, tidak di kendalikan oleh kekuasaan apapun. Kekuasaan ini berupa hak para penguasa dan hak membuat perundang-undangan sesuai dengan kemauan mereka. Dalam hal ini, rakyat mewakilkan kekuasaannya kepada orang-orang yang mereka pilih di parlemen. Para wakil rakyat inilah yang mewakili mereka dalam hal menjalankan kekuasaan. Di sebutkan dalam Mausu’atus siyasah, bahwa semua negara demokrasi berdiri di atas satu dasar pikiran, yaitu kekuasaan kembali kepada rakyat dan rakyatlah yang berdaulat. Artinya, pada intinya demokrasi itu prinsipnya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat.
Pengertian kedaulatan
  • Menurut  Abdul Hamid Mutawali, dosen perundang-undangan adalah kekuasaan tertinggi yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari padanya.
  • Yosef Frankl, seorang politikus Barat berkata bahwa yang di maksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi, yang tidak mengenal kekuasaan lebih tinggi dari padanya, atau yang berada di belakangnya, yang layak untuk mengevaluasi ketetapan-ketetapannya. Inilah arti dasar kedaulatan yang tidak pernah mengalami perubahan sampai sekarang.
  • John Bodn, pada tahun 1576 mendefinisikan pula tentang kedaulatan rakyat. Intinya ia menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang berada di atas penduduk dan rakyat dan tidak di batasi oleh undang-undang.[2]
Dalam kasus Indonesia, adalah klise untuk mengatakan bahwa Islam menjadi faktor yang penting di balik pesatnya pertumbuhan demokrasi. Sering di katakan bahwa Indonesia adalah contoh sukses kesesuaian antara Islam dan demokrasi.[3]
Gellner menemukan bahwa Islam mempunyai kesamaan unsur-unsur dasar (family resemblences) dengan demokrasi. Demikian pula Robert N. Bellah sampai pada kesimpulan bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang di kembangkan nabi Muhammad di Madinah bersifat egaliter dan partisipatif. Demikian terkesannya Bellah sehingga berani menilai bahwa apa yang di lakukan Nabi adalah terlalu modern untuk ukuran zamannya.[4] Gellner maupun Bellah berkesimpulan tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi atas dasar penelitian mereka terhadap doktrin dan praktik politik Islam. Di sini doktrin tentang keadilan (al-‘adl), egalitarianisme (al-musawah); musyawarah atau negosiasi (syura) terealisasikan di dalam praktek politik kenegaraan awal Islam yang di nilai modern itu. Disebut modern karena adanya komitmen, keterlibatan, dan partisipasi dari seluruh komunitas politik Madinah. Struktur  politik yang di kembangkan juga modern dalam artian adanya keterbukaan dalam hal penentuan posisi pimpinan yang didasarkan pada prinsip meritokrasi dan tidak bersifat hereditary. Bentuk kemodernan yang seperti itulah yang di pandang sebanding dengan kehidupan politik demokratis.[5]
Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang demokratis. Ada beberapa alasan mengapa Islam sebagai agama yang demokrasi:
Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang kelas, dari pemegang jabatan tertinggi hingga rakyat jelata di kenal hukum yang sama. Kalau tidak demikian, maka hukum dalam Islam tidak jalan dalam kehidupan
kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan. “Amruhum syuraa bainahum”, artinya perkara-perkara mereka di bicarakan di antara mereka. Dengan demikian tradisi membahas, tradisi bersama-sama mengajukan pemikiran secara bebas dan terbuka pada akhirnya di akhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki kehidupan. Karena dunia ini pada hakikatnya adalah persiapan untuk kehidupan di akhirat. “Wakhiratu khairu wabqa”, akhirat itu lebih baik dan lebih langgeng. Karena itu kehidupan manusia tarafnya tidak boleh tetap, harus tetap ada peningkatan untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik di akhirat.[6]
Persamaan dan Perbedaan Islam dan Demokrasi.
Persamaan Islam & Demokrasi.
Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan demokrasi. Namun, perbedaannya lebih banyak. Persamaannya:
Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itupun sudah ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuasaan Imam atau Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada al-Quran dan Hadist, ijma’, atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari Imam, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Imam. Adapun Imam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah (kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau presiden, melainkan berdasarkan pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.
Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam secara komprehensif.
Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di hadapan undang-undang, kebebasan berpikir dan berkeyakinan, realisasi keadilan sosial, atau memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan). Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.
Perbedaan Islam & Demokrasi.
Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah, iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapapun yang mengikuti Islam, ia masuk salah satu negara Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain. Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional.
Tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih utama dan fundamental.
Kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan. Jadi, rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya. Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-ketentuan syariat sehingga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, al-Quran dan as-Sunnah tanpa mendapat sanksi.[7]
Keberhasilan meyelenggarakan pemilu pada tahun 1999 dan 2004, di gunakan sebagai contoh kesuksesan demokrasi di negara ini. Bahkan cerita kesuksesan tersebut dipuji oleh majalah terkemuka The Economist, yang menggambarkannya sebagai ‘contoh bagus” demokrasi di seluruh negara-negara Islam.[8] Salah satu argumen yang sering kali di gunakan sebagai justifikasi teoritis eksistensi demokrasi di Indonesia adalah karakteristik Islam di negara ini, yang di katakan berbeda dengan di timur tengah. Islam di Indonesia telah lama diakui sebagai agama yang pluralis dan toleran, beberapa mengatakan heterodoks, karena metode dakwah yang di gunakan kepada penduduk lokal tanpa menggunakan kekerasan ataupun perang. Islam di Indonesia dikatakan bisa hidup berdampingan dengan kultur setempat seperti animisme, atau Hindu-Budha. Islam sebagian besar masuk ke Indonesia sebagai converting cultural force, bukan sebagai penakluk, sebagaimana terjadi di negara-negara lain.[9]
Di tengah-tengah interaksi antara negara dan masyarakat, islam menjadi variabel penting dalam proses yang panjang ini. Hefner meyakinkan bahwa proses demokratisasi di Indonesia akan menghasilkan bentuk yang berbeda dengan demokrasi Barat, dimana terjadi pemisahan antara agama dan negara. Pemikiran tersebut berdasarkan paradigma aksiomatik bahwa “tidak ada satu standard demokrasi” ( one-size-fits-all-democracy), Hefner berargumen bahwa demokratisasi di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari gerakan islam sebagai kekuatan budaya yang utama.[10] Berangkat dari terma Civil Islam dan Islam Publik, Hefner menekankan bahwa Indonesia bisa mengembangkan bentuk demokrasinya sendiri, bukan demokrasi sekuler dan liberal seperti yang di pahami wacana Barat. Dengan kata lain, karakter demokrasi di Indonesia adalah bersandingnya antara agama dan ruang publik. Demokrasi sekuler mengandaikan tersingkirnya agama dari ruang publik untuk berorientasi pada ruang privat. Oleh karenanya, wacana politik Islam tidaklah identik dengan liberalisme Barat. Salah satu alasannya, umat Islam percaya bahwa agamanya memberikan aturan terhadap beberapa persoalan publik. Tampaknya Hafner menerima satu ungkapan bahwa Islam adalah din wa al-dawlah, agama dan negara.[11]


[1] Tim Bahasa Pustaka Agung Harapan, Kamus lengkap bahasa Indonesia modern, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2003), 147
[2] Abu Bakar Ba’asyir , Catatan dari Penjara untuk Mengamalkan dan Menegakkan Dinul Islam, ( Depok: Mushaf, 2006 ), 32-34
[3] Masdar Hilmy, Teologi Perlawanan Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2009), 108
[4] Zainul Kamal, dkk, Islam, Negara dan Civil Society, (Jakarta: PARAMADINA (Anggota IKAPI), 2005), 160-161
[5] Ibid, 161
[6] Abdurrahman Wahid, membangun demokrasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999), 85
[7] wordpress.com/.../tugas-makalah-islam-dan-demokrasi-kel-8.doc
[8] Ibid, Teologi Perlawanan Islamisme dan Diskursus Demokrasi di Indonesia ..., 108
[9] Ibid, 109
[10] Ibid, 111
[11] Ibid, 112

Tidak ada komentar:

Posting Komentar