Senin, 16 April 2012


Formalisme Islam tampak meggabungkan penafsiran literal atas kitab suci. Sama-sama menekankan skriptuakisme tradisional di satu pihak, dan di pihak lain menekankan kecenderungan fundamentalis yang menekankan konsep skriptual Islam, walaupun bukan dalam pengertian konsep-konsep syariah dapat di pahami secara tradisional. Beberapa unsur dari formalisme Islam dapat terlihat misalnya dalam ide-ide intelektual universalis.
Universalisme Islam mendukung pandangan bahwa hakikat Islam adalah universal dan menyeluruh. Pemikir-pemikir universal cenderung menekankan kedaulatan ilahi dalam prinsip tauhid yang menurut mereka membantu membebaskan manusia dari kekuasaan-kekuasaan non-ilahi.
Arus Substantivistik
Menekankan keniscayaan adanya lembaga-lembaga sebagai badan formal untuk melaksanakan prinsip-prinsip Islam merupakan sifat dasar dari formalisme Islam. Dalam wilayah politik arus ini mengajukan suatu lembaga politik Islam tertentu. Karena itu ia bertentangan dengan arus yang cenderung menekankan pentingnya tingkat makna substansial sambil menolak bentuk-bentuk pemikiran formalstik. Karena itu arus ini dapat disebut Substantivistik”.
Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka yang menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik, bukan sekadar manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini yang lebih adalah eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan untuk mendorong Islamisasi perlu dilakuikan kulturalisasi, yaitu penyiapan landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat modern.
Ini memberikan alasan mendasar bagi kaum substantivis, bahwa dalam perspektif sejarah, kulturasi budaya yang beragam, dan Islam hanya salah satu di antaranya. Agar Islam memenangkan kompetisi ni, islamisasi, menurut kaum substantivis, harus mengambil bentuk kulturasi, bukan politisasi; gerakan-gerakan Islam harus menjadi utamanya gerakan budaya dari pada gerakan politik.Pandangan ini telah di terima oleh banyak organisasi Islam, terutama Muhammadiyah dan NU, ketika mereka menarik diri dari arena politik praktis formal. Ini di mulai oleh Muhammadiyah tahun 1971 dan diikuti oleh NU tahun 1984. Tindakan kedua ormas inimencerminkan pandangan mereka bahwa kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi , pendidikan dan budaya lebih penting untuk mencapai cita-cita akhir mereka.
Gagasan bagi penekanan islamisasi budaya telah diperjuangkan oleh mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis ( pemikir yang menekankan pentingnya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami Islam ), yang telah berupaya memperhatikan Islam bagi budaya nasional Indonesia, yang membedakan secara jelas antara Islam dan budaya.
Slogan Nurcholis Majid “Islam yes, partai Islam no” dan pandangannya tenytang Islam sebagai faktor komplementer bukanlah titik pangkal pikirannya, tapi lebih sebagai catatan kesimpulan dari renungannya atas Islam dan Historisitas umat Islam di Indonesia. Nurcholis Majid selanjutnya menjelaskan bahwa menegakkan demokratisasi yang dipandangnya sebagai proses dinamis yang cukup memungkinkan terbentuknya suatu masyarakat yang mendekati demokrasi, merupakan suatu keharusan. Ini menurutnya, mensyaratkan adanya suatu gentlemen’s agreement yang melampaui primordialisme keagamaan ataupun kultural.
Arus Fundamentalis
Selain dari mainstream formalistik dan substantivistik tersebut terdapat mainstream ketiga yang bertentangan dengan diametral. Mainstream ini cenderung mengangkat kembali sendi-sendi Islam kedalam realitas politik sekarang. Mainstream ini, yang disebut fundamentalis”. Kemunculan fundamentalisme Islam di Indonesia dipengaruhi oleh sebagian faktor internasional, yakni perkembangan Fundamentalisme Islam di dunia Islam, dan oleh dinamika dialektis internal dalam politik Islam Indonesia itu sendiri. Ketidak mampuan dan ketidak efektifan gerakan-gerakan Islam dihadapan rezim yang melakukan depolitisasi atas Islam melahirkan kelompok penentang dalam masyarakat Islam atas Indonesia. Sejarah Islam orde baru telah menyaksikan kemunculan sejumlah kelompok sempalan, termasuk Islam jamaah di Jawa Timur.
Kemenyeluruhan (totalitarianisme) Islam membentuk risalah Islam (risalat islamiyyah) yang terdiri tidak hanya dari sistem ibadah tapi juga prinsip-prinsip aqidah, syariah, dan jalan hidup (nizam). Kemenyeluruhan Islam, dengan demikian, tidak memisahkan yang sakral dari tang profan. Sejauh menyangkut organisasi politik, ide-ide di atas punya konsekwensi logis terhadap penolakan setiap sistem yang tidak islami atau yang anti tauhid,apakah itu kapitalisme, sekularisme, materialisme, komunisme, dan juga setiap sistem pribumi. Kalangan fundamentalis menjelaskan bahwa Islam terdiri dari dasar-dasar imperatif bagi “aksi”, suatu ide yang keluar dari karakteristik transformatif dari Islam dan pembelaannya yang nyata bagi orang-orang “lemah dan dilemahkan” (mustd’afin). Ide tentang sifat transformatif Islam dikemukakannya dari elaborasi atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang menyatakan bahwa misi Islam adalah mentransformasi masyarakat dari kegelapan (al-zulumat) menuju terang (al-nur).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar