Formalisme Islam tampak meggabungkan penafsiran literal atas kitab
suci. Sama-sama menekankan skriptuakisme tradisional di satu pihak, dan di
pihak lain menekankan kecenderungan fundamentalis yang menekankan konsep
skriptual Islam, walaupun bukan dalam pengertian konsep-konsep syariah dapat di
pahami secara tradisional. Beberapa unsur dari formalisme Islam dapat terlihat
misalnya dalam ide-ide intelektual universalis.
Universalisme Islam mendukung pandangan bahwa hakikat Islam adalah
universal dan menyeluruh. Pemikir-pemikir universal cenderung menekankan
kedaulatan ilahi dalam prinsip tauhid yang menurut mereka membantu membebaskan
manusia dari kekuasaan-kekuasaan non-ilahi.
Arus Substantivistik
Menekankan keniscayaan adanya lembaga-lembaga sebagai badan formal
untuk melaksanakan prinsip-prinsip Islam merupakan sifat dasar dari formalisme
Islam. Dalam wilayah politik arus ini mengajukan suatu lembaga politik Islam
tertentu. Karena itu ia bertentangan dengan arus yang cenderung menekankan
pentingnya tingkat makna substansial sambil menolak bentuk-bentuk pemikiran
formalstik. Karena itu arus ini dapat disebut Substantivistik”.
Istilah ini dimaksudkan untuk menunjukkan orientasi politik mereka
yang menekankan tuntutan manifestasi substansial nilai-nilai Islam dalam
aktivitas politik, bukan sekadar manifestasinya yang formal, baik dalam ide-ide
maupun kelembagaannya. Bagi pendukung orientasi ini yang lebih adalah
eksistensi intrinsik ajaran-ajaran Islam dalam arena politik Indonesia, dan
untuk mendorong Islamisasi perlu dilakuikan kulturalisasi, yaitu penyiapan
landasan budaya, menuju terwujudnya masyarakat modern.
Ini memberikan alasan mendasar bagi kaum substantivis, bahwa dalam
perspektif sejarah, kulturasi budaya yang beragam, dan Islam hanya salah satu
di antaranya. Agar Islam memenangkan kompetisi ni, islamisasi, menurut kaum
substantivis, harus mengambil bentuk kulturasi, bukan politisasi;
gerakan-gerakan Islam harus menjadi utamanya gerakan budaya dari pada gerakan
politik.Pandangan ini telah di terima oleh banyak organisasi Islam, terutama
Muhammadiyah dan NU, ketika mereka menarik diri dari arena politik praktis
formal. Ini di mulai oleh Muhammadiyah tahun 1971 dan diikuti oleh NU tahun
1984. Tindakan kedua ormas inimencerminkan pandangan mereka bahwa kegiatan-kegiatan
sosial, ekonomi , pendidikan dan budaya lebih penting untuk mencapai cita-cita
akhir mereka.
Gagasan bagi penekanan islamisasi budaya telah diperjuangkan oleh
mereka yang dikenal sebagai pemikir-pemikir indigenis ( pemikir yang menekankan
pentingnya memperhatikan unsur-unsur pribumi atau lokal dalam memahami Islam ),
yang telah berupaya memperhatikan Islam bagi budaya nasional Indonesia, yang
membedakan secara jelas antara Islam dan budaya.
Slogan Nurcholis Majid “Islam yes, partai Islam no” dan
pandangannya tenytang Islam sebagai faktor komplementer bukanlah titik pangkal
pikirannya, tapi lebih sebagai catatan kesimpulan dari renungannya atas Islam
dan Historisitas umat Islam di Indonesia. Nurcholis Majid selanjutnya
menjelaskan bahwa menegakkan demokratisasi yang dipandangnya sebagai proses
dinamis yang cukup memungkinkan terbentuknya suatu masyarakat yang mendekati
demokrasi, merupakan suatu keharusan. Ini menurutnya, mensyaratkan adanya suatu
gentlemen’s agreement yang melampaui primordialisme keagamaan ataupun
kultural.
Arus Fundamentalis
Selain dari mainstream formalistik dan substantivistik
tersebut terdapat mainstream ketiga yang bertentangan dengan diametral. Mainstream
ini cenderung mengangkat kembali sendi-sendi Islam kedalam realitas politik
sekarang. Mainstream ini, yang disebut fundamentalis”. Kemunculan
fundamentalisme Islam di Indonesia dipengaruhi oleh sebagian faktor
internasional, yakni perkembangan Fundamentalisme Islam di dunia Islam, dan
oleh dinamika dialektis internal dalam politik Islam Indonesia itu sendiri.
Ketidak mampuan dan ketidak efektifan gerakan-gerakan Islam dihadapan rezim
yang melakukan depolitisasi atas Islam melahirkan kelompok penentang dalam
masyarakat Islam atas Indonesia. Sejarah Islam orde baru telah menyaksikan
kemunculan sejumlah kelompok sempalan, termasuk Islam jamaah di Jawa Timur.
Kemenyeluruhan (totalitarianisme) Islam membentuk risalah Islam
(risalat islamiyyah) yang terdiri tidak hanya dari sistem ibadah tapi juga
prinsip-prinsip aqidah, syariah, dan jalan hidup (nizam). Kemenyeluruhan
Islam, dengan demikian, tidak memisahkan yang sakral dari tang profan. Sejauh
menyangkut organisasi politik, ide-ide di atas punya konsekwensi logis terhadap
penolakan setiap sistem yang tidak islami atau yang anti tauhid,apakah itu
kapitalisme, sekularisme, materialisme, komunisme, dan juga setiap sistem
pribumi. Kalangan fundamentalis menjelaskan bahwa Islam terdiri dari
dasar-dasar imperatif bagi “aksi”, suatu ide yang keluar dari karakteristik
transformatif dari Islam dan pembelaannya yang nyata bagi orang-orang “lemah
dan dilemahkan” (mustd’afin). Ide tentang sifat transformatif Islam
dikemukakannya dari elaborasi atas sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, terutama
ayat-ayat yang menyatakan bahwa misi Islam adalah mentransformasi masyarakat
dari kegelapan (al-zulumat) menuju terang (al-nur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar